Setiap menjelang tahun ajaran baru atau awal semester, anggaran pendidikan orang tua siswa selalu melonjak. Melonjaknya anggaran pendidikan orang tua siswa Salah satu penyebabnya adalah pembelian buku paket atau LKS (Lembar Kerja Siswa) oleh siswa. Bisanya pada masa-masa ini pro dan kontrapun terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pihak yang kontra dengan adanya penjualan buku paket atau LKS di sekolah beranggapan bahwa pemerintah telah mengadakan pendidikan gratis. Pendidikan gratis juga mencakup penyediaan buku paket oleh pemerintah sehingga tidak perlu lagi adanya penjualan buku oleh pihak sekolah. Sedangkan pihak yang pro dengan penjualan buku kepada siswa oleh guru adalah untuk mempermudah proses belajar mengajar, buku yang tersedia tidak relevan dengan kurikulum yang berlaku.
Untuk mengatasi perkara tersebut maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Pertama, tahun 2005, Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, pemerintah menetapkan masa pemakaian buku teks pelajaran selama lima tahun. Aturan ini dimaksudkan agar buku tidak hanya dipakai satu tahun saja, tapi bisa digunakan untuk beberapa tahun oleh angkatan berikutnya. Namun peraturan ini tidak berjalan dengan baik. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional yang mengamanatkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyediakan buku teks bagi semua mata pelajaran di sekolah, maka Depdiknas pun mendistribusikan buku pelajaran gratis ke sekolah-sekolah. Namun, lagi-lagi pendistribusian buku-buku tersebut tidak bermanfaat banyak Ketiga, program kebijakan buku elektronik atau e-book untuk
siswa Sekolah Dasar hingga SMA. Buku elektronik ini nantinya akan bisa diakses dari internet. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 2/2008 yang berisi antara lain pemerintah pusat dan daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Semua orang berhak menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan, dan atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Kendala yang paling besar adalah belum semua daerah atau sekolah di Tanah Air yang bisa masuk jaringan internet. Di samping itu, kekurangmerataan kemampuan pihak sekolah dan murid menggunakan teknologi internet juga menjadi kendala. Buruknya opini yang beredar Keempat, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 11 tahun 2005 tentang buku teks pelajaran, beberapa kebijakan pemerintah berkaitan dengan buku sekolah antara lain menghilangkan monopoli penulisan dan penerbitan buku sekolah.Kepmen itu antara lain mengatur tentang larangan penjualan buku oleh penerbit langsung ke sekolah, melarang guru terlibat dalam penjualan buku, penetapan masa pakai buku lima tahun agar beban masyarakat berkurang, peningkatan peran komite sekolah dalam memberikan petimbangan pemilihan buku di sekolah.Adanya kasus penjualan buku oleh oknum guru di sekolah mencoreng citra guru ditengah masyarakat. Tentu semua orang tidak menghendaki adanya reduksi profesi guru. Guru adalah pahlawan. Guru adalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam kembali mengangkat citra seorang guru, diantarnya adalah “Katakan tidak untuk menjual buku!!!”. Berikut dampak negative yang muncul jika aktivitas penjualan buku tetap dilakukan. Pertama, Mematikan kretivitas dan inovasi guru dalam mengembangkan mata pelajaran yang diasuh. Guru pada dasarnya adalah seorang yang inovatif dan idealisme. Rasa ini akan sangat bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidik. Ketika rasa ini mati, maka yang terjadi adalah professional sebagai seorang guru akan mati suri. Hal ini terjadi karena guru sudah merasa cukup dengan materi yang ada di buku paket atau di LKS. Adanya kodefikasi materi olah penerbit buku menciptakan rasa malas berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki. Ingat kasus kenapa muslim sekarang rendah keinginan untuk mengkaji bahasa Arab?Karena keterpakaian bahasa Arab sudah tergantikan dengan alih bahasa. Adanya Qur’an terjemahan, kitab-kitab hadits terjemahan adalah contoh kodefikasi yang tanpa kita sadari melemahkan keinginan untuk mempelajari bahasa Arab. Demikian pula hanya dengan merebaknya buku-buku paket dan LKS jika kita tidak arif menyikapinya akan menyadi boomerang. Guru akan berasumsi semua materi sudah lengkap dan tersedia untuk apa mengembangkannya lagi.Dampak dari matinya rasa ini meneyebabkan guru enggan untuk menulis, melakukan penelitian. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa karir guru banyak yang terhenti pada golongan IVa.Kedua, manjadi katalisator siswa miskin kreativitas. Akumulasi dari dampak penggunaan buku paket atau LKS yang keliru berdampak pada
Terbentuknya mindset yang keliru tentang buku yang ia miliki. Siswa beranggapan bahwa materi yang ia pelajari hanya yang ada dalam buku yang ia miliki.Siswa tidak memahami bahwa materi pelajaran yang ada di bukunya hanya sebagaian kecil dari serpihan ilmu. Siswa yang kurang memiliki kreativitas dalam mencari sumber belajar perlu diteliti lebih lanjut sejauh mana efek negativnya terhadap hasil belajar siswa.Ketiga,Siswa tertekan. Adanya oknum guru yang menjual buku di sekolah makin memambah beban siswa. Siswa sudah terbebani dengan padatnya kurikulum ditambah lagi siswa merasa tertekan ketika ia tidak mampu melunasi cicilan pembayaran buku. Boleh jadi karena strees siswa menyebabkan siswa tidak mampu optimal dalam pembelajaran. Minder karena belum melunasi buku juga memberikan sumbangan terhadap tingkat tertekannya siswa. Keempat, memperburuk citra profesi guru. Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission).
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Mulianya tugas guru seolah menjadi sirna dengan adanya opini buruk dari masyarakat dan anak didik itu sendiri.
Demikianlah dampak negative yang muncul dari aktivitas “terlarang” tersebut.
Pertanyaan berikutnya bagaimana cara memutuskan mata rantai tersebut? Berikut beberapa solusi untuk mengatasinya menurut penulis. Pertama, Kebijakan pemerintah yang mencerdaskan guru. Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mengembangkan potensi guru. Rekayasa-rekaysa yang dilakukan untuk meningkatkan valensi guru langsung bersentuhan dengan ranah pembelajran yang bersifat praktis. Misalnya guru mengadakan pelatihan tepat guna untuk pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Misalnya memaksimalkan kerlibatan informasi dan teknologi sebagai media atau sumber belajar. Memberikan reward yang bermanfaat untuk pengembangan pendidikannya. Tidak hanya pemerintah memberikan pelatihan yang bersifat mengayakan metode pembelajaran tetapi juga memberikan kesempatan dan mempermudah guru untuk melanjutkan pendidikan ketingkat berikutnya. Dengan adanya usaha yang optimal oleh pemerintah maka guru tidak mencari usaha sampingan tetapi dengan kemampunnya ia mampu menjadi “kaya” inovasi yang berujung pada peningkatan pendapatan keluarga.Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah seperti meneyediakan e-book terasa mubazir, karena kurangnya kemampuan guru untuk mengembangkan menjadi media belajar yang menyenangkan siswa. Kedua, Adanya masyarakat peduli pendidikan. Masyarakat yang memiliki pendapatan yang berlebih dapat memberikan sumbangsih untuk kemajuan dunia pendidikan. Misalnya, perpartisipasi dalam pengadaan media atau sumber pembelajaran. Ketiga, mengoptimalkan valensi diri guru. Konsep belajar sepanjang hayat benar-benar menjadi aspirasi bagi guru. Belajar dan berkarya adalah motto seorang guru. Diharapkan muncul sikap cerdas dan kritis dari guru. Misalnya bagaimana guru merespon buku-buku paket yang menjamur.Buku-buku yang beredar di sekolahan adalah produk “pengarang luar”. Mereka tidak memahami keadaan siswa di sekolah tempat guru tersebut mengajar. Gurulah yang lebih memahami kemampuan siswanya. Sehinggga sangat berarti jika guru mulai membuat perkara yang kecil. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS), misalnya. Diharapkan “produk local” lebih mebantu siswa dalam belajar, tentunya tanpa melupakan karya orang lain. Tidak hanya meningkatkan valensi guru dalam mengembangkan bahan ajar juga menanamkan maindset cara belajar yang benar dari buku-buku paket yang beredar.
Adanya rekasaya oleh pemerintah dan adanya belajar mandiri oleh guru akan mampu mengembalikan guru pada misi dan visi, yakni mencerdaskan anak bangsa. Guru bukan sales buku. Tetapi guru adalah agen terdepan untuk mencerdaskan anak bangsa. Wallahu’alam.
Guru Bukan Sales Buku
Ikatan Guru Indonesia, Senin, 17 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar