Dinamika Problematika Kekerasan Pendidikan


oleh :
Drs. H. Humaidi Syukeri*

A. PENDAHULUAN
Permasalahan ‘Kekerasan’ (Children Bullying) di sekolah dewasa ini semakin menjadi perhatian oleh masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa kekerasan bukanlah hal aneh atau luar biasa dalam kehidupan kita sehari-hari, karena hal itu hampir terjadi di setiap tempat baik di rumah, masyarakat, dan sekolah. Namun demikian, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, selain meninggalkan luka fisik maupun luka batin.
Kekerasan tak terkecuali juga kadang terjadi di kelas, kekerasan pun sering terjadi baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Beberapa contoh kekerasan yang terjadi di sekolah disebabkan oleh faktor guru, yang secara ‘tidak sengaja’ bertindak dalam kerangka ‘mendisiplinkan siswa’. Hal ini telah membuka peluang terjadinya ‘kekerasan’ yang berlaku di ruang kelas. Banyak guru yang tidak tahu bahwa menjewer, mencubit, memukul, menampar, menendang, menggunduli rambut merupakan bentuk praktik kekerasan. Belum lagi bentuk kekerasan secara psikis yang kerap dilakukan seperti mengintimidasi, mengancam, menghina, merendahkah, menyindir, mendiskriminasikan, mengusir, memaki, mengabaikan, mengejek, menyamakan dengan binatang, dan sebagainya.
Mendisiplinkan siswa memang merupakan suatu bentuk sikap agar anak memiliki tanggung jawab, mandiri dan yang terpenting adalah mengakui hak dan keinginan orang lain serta memiliki tanggung jawab sosial secara manusiawi. Tetapi, apakah harus dilakukan dalam bentuk kekerasan? Hukuman dalam bentuk kekerasan masih dianggap cara efektif untuk mendisiplinkan anak. Bentuk kekerasan seperti menjewer atau mencubit sudah hal yang lumrah, bahkan siswa juga merasa bahwa hal seperti itu merupakan hal lazim untuk pendisiplinan.
Kekerasan bukanlah solusi untuk mendisiplinkan atau membuat anak patuh dan taat kepada perintah guru. Justru, kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang akan berdampak bagi masa depan anak baik dari perkembangan, pertumbuhan dan kepribadiannya. Akibat kekerasan akan membuat perilaku anak menjadi tidak konsisten yakni patuh di depan dan berani di belakang guru, orang tua, atau pimpinan.
Hubungan dengan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan.


Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, karena ingin dihormati, ingin disegani, ingin ditakuti, ingin diakui, ingin berwibawa. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk walau tertekan dan terpaksa. Kekerasan psikis yang nyata terjadi di sekolah seperti siswa tidak percaya diri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru karena takut salah, mereka menjadi seorang penakut dalam proses pembelajaran, kreativitas mereka menjadi terhambat, indispliner, dan tidak semangat pergi ke sekolah. Untuk mendisiplinkan anak haruslah dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, disiplin harus ditanamkan sejak usia dini dan harus dilakukan secara konsisten. Dalam hal ini, guru harus memberikan teladan yang baik, memotivasi dan memberikan batas-batas yang jelas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan komunikasi yang dapat dipahami dan disepakati bersama
Apabila pelanggaran terjadi, maka sikap guru adalah menasihati dan memberikan pengertian kepada anak tentang perilaku yang dilanggarnya. Di satu sisi, guru dapat memberikan sikap tegas tetapi bukan berarti harus dengan cara kekerasan berupa penyaluran emosi atau luapan kemarahan yang akan menyebabkan rasa sakit bagi yang dihukum.
Hukuman akan mengakibatkan anak memiliki rasa dendam. Apabila tidak dapat membalaskan dendamnya, maka akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain misalnya tawuran, dan sikap kasar.
Yang tidak kalah penting, teladan para pendidik akan menjadi “pedoman” bagi para siswanya. Guru yang judes, suka menghardik, apalagi melakukan kekerasan fisik, tanpa disadari akan ditiru oleh para siswa. Sebaliknya, perilaku guru yang cerdas, sabar, memperlakukan siswa dengan penuh kasih sayang, dengan sendirinya akan mendorong siswa berprestasi, dan menjauhkan mereka dari berbagai konflik.
Hubungan dengan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, karena ingin dihormati, ingin disegani, ingin ditakuti, ingin diakui, ingin berwibawa. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk walau tertekan dan terpaksa. Kekerasan psikis yang nyata terjadi di sekolah seperti siswa tidak percaya diri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru karena takut salah, mereka menjadi seorang penakut dalam proses pembelajaran, kreativitas mereka menjadi terhambat, indispliner, dan tidak semangat pergi ke sekolah. Untuk mendisiplinkan anak haruslah dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, disiplin harus ditanamkan sejak usia dini dan harus dilakukan secara konsisten. Dalam hal ini, guru harus memberikan teladan yang baik, memotivasi dan memberikan batas-batas yang jelas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dengan komunikasi yang dapat dipahami dan disepakati bersama.
Lagi pula, guru yang memiliki kasih sayang memancarkan wibawa dan keteduhan, sehingga setiap masalah yang dihadapi siswa akan mudah diredam dan dicarikan solusi secara bersama-sama. Bahkan, berhadapan dengan guru yang berwibawa, menjauhkan siswa dari kekerasan

B. POKOK PERMASALAHAN

Mengapa terfokus pada persoalan Bullying dan bukan pada perilaku agresif?
Adalah bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan ini, karena bullying merupakan salah satu aspek dari perilaku agresif. Agresi seringkali muncul di antara individu dengan kekuatan yang setara. Dapat juga merupakan ekspresi ke semua arah, tidak hanya terhadap mereka yang kurang memiliki kekuasaan. Bagaimanapun, perilaku bullying tidak sama dengan perilaku agresif. Perilaku bullying selalu terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan kekuatan. Sebagaimana semua perilaku agresif, bullying dapat merupakan bentuk ekspresi secara langsung, dalam bentuk perilaku fisik atau verbal terhadap seseorang.

Dapatkah Bullying dihentikan?
Berbagai hasil penelitian menunjukkan beberapa intervensi yang dikembangkan di beberapa negara dan hal ini menunjukkan bahwa perilaku bullying dapat secara signifikan dikurangi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa intervensi tersebut akan semakin sukses apabila melibatkan para siswa sejak duduk di bangku pra-sekolah dan sekolah dasar.

C. DAMPAK BULLYING

Bagi anak-anak yang mendapatkan pengalaman kekerasan secara berulang-ulang akan menderita dengan berbagai pengaruh, seperti :
1. Kehilangan citra-diri (loss of self-esteem) yang terjadi bertahun-bertahun setelah perilaku kekerasan terhenti;
2. Meningkatkan isolasi, tanpa teman dan tidak dipercaya oleh orang lain;
3. Depressi, dan pada beberapa kasus ekstrim dapat menimbulkan keinginan bunuh diri.
4. Ketidakhadiran dan kemampuan untuk berkonsentrasi di sekolah menurun;
5. Pengaruh terhadap keluarga;
6. Munculnya perilaku tidak konsisten, anak akan patuh di depan tapi berontak di belakang.

D. MENDIDIK ANAK BERKENAAN DENGAN BULLYING

Dalam mendidik anak berkenaan dengan bullying dapat direncanakan berdasarkan pada 4 aspek, yaitu : pengetahuan, sikap, ketrampilan dan perilaku.
Para guru dapat mengembangkan hal-hal, antara lain :
1. Pengetahuan dan Pemahaman
a. Apa yang menyebabkan perilaku bullying terjadi ?
b. Apa yang dimaksud dengan ’Bullying’ dan dalam bentuk apa sajakah perilaku bullying terjadi?
- Menyebabkan kerusakan pada hal-hal apa sajakah perilaku bullying tersebut?
- Mengapa perilaku bullying tidak dapat diterima?
- Apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya?
2. Sikap-sikap dan nilai-nilai
Kesadaran menghargai orang lain sama dengan menghargai diri sendiri.
a. Simpati terhadap siswa yang menjadi korban bullying dari seseorang.
b. Menumbuhkan rasa malu apabila melakukan perilaku bullying.
c.Perasaan empati terhadap orang lain, terutama terhadap mereka yang menjadi korban bullying,
- Menumbuhkan rasa tanggungjawab untuk membantu mereka yang mendapatkan perilaku tidak fair dari orang lain;
- Menerima orang-orang yang memiliki perbedaan.
3. Ketrampilan
a. Kapasitas untuk menjaga anak-anak dari perilaku bullying tersebut;
b. Kapasitas yang ada dimanfaatkan untuk mengkontrol emosi-emosi negatif, seperti rasa marah, stress.
4. Perilaku
Nasihat berupa tindakan (contoh perilaku teladan) lebih mudah diikuti ketimbang sekedar kata-kata.
1)Perilaku yang tidak menakutkan, guru dan pimpinan sebagai orang tua, teman sebagai saudara
2)Sensitif (memiliki kehalusan atau kepekaan hati)
3)Konsisten dalam ucapan dan perbuatan untuk perbuatan baik
4)Menghidari kesombongan, membanggakan diri, suka pujian dan sanjungan, waspadai perilaku guru merasa paling berkuasa, paling pintar, paling memiliki, paling baik.
5)Tidak keluh kesah.

•Perilaku murid sebagai sumber belajar yang hidup bagi guru. Murid adalah cermin guru. Murid licik tanda gurunya tidak benar, murid agresif tanda guru reaktif, murid sulit paham tanda gurunya tidak cerdas, murid sulit mendengar tanda guru lebih suka didengar.


* Penulis adalah Kepala Dinas Pendidikan
Provinsi Kalimantan Selatan

Comments :

0 komentar to “Dinamika Problematika Kekerasan Pendidikan”

Posting Komentar