Jika Guru Kreatif, Muridnya juga Akan Kreatif (Sebuah Tantangan Bagi Guru di Era Digital)


Oleh Abdul Halim Rahmat*
Suasana kelas seketika menjadi hening ketika seorang guru memasuki ruang kelas. Tidak begitu lama kemudian terucap dari mulutnya, “Hari ini kalian boleh pulang, karena guru-guru akan mengadakan rapat sekolah”. Sontak kelas yang hening itu berubah jadi gaduh, “horee..” semua siswa berteriak kegirangan.

Fenomena tersebut di atas sudah sering kita dengar dan bahkan kita alami sendiri. Terikan “horee” yang diekspresikan siswa tersebut menunjukkan rasa kegirangan terbebas dari belajar. Padahal mereka sudah bangun pagi-pagi, kemudian berangkat ke sekolah dan tentunya siap untuk belajar. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik menjalani proses belajar di sekolah bagaikan dalam penjara. Ternyata sistem persekolahan kita masih tidak membebaskan dan tidak menyenangkan bagi siswa.

Suasana belajar yang menyenangkan adalah salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan pembelajaran, karena disitu ada motivasi dari siswa untuk belajar. Jika motivasi dari siswa tidak ada, maka dapat dipastikan bahwa proses belajar mengajar tidak akan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Karena itu seorang guru dituntut untuk dapat memunculkan semangat dan motivasi siswa untuk belajar terlebih dahulu dengan mendesain pembelajaran yang menyenangkan. Seorang guru dituntut untuk memiliki jiwa kreatifitas. Kreatif dalam merancang sebuah pembelajaran, kreatif dalam menciptakan model-model pembelajaran dan kreatif dalam menggunakan alat dan sumber pembelajaran.
Guru yang kreatif, secara tidak langsung akan menjadikan siswanya menjadi kreatif pula, bahkan bisa jadi kreatifitas siswa akan melebihi dari gurunya, bak pepatah mengatakan, ”guru kencing berdiri, murid kencing berjalan”. Model-model pembelajaran yang merangsang kreatifitas akan memunculkan ide-ide segar dari siswa untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang materi pembelajaran.
Pada dasarnya semua manusia yang terlahir ke dunia ini membawa naluri kreatif. Manusia zaman dahulu bisa menciptakan berbagai fasilitas hidup dan dapat beradaptasi dengan alam sehingga manusia bisa bertahan hidup sampai sekarang. Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang para siswa menjadi sosok yang takut atau malu-malu untuk mengungkapkan ide-ide maupun pertanyaaan, begitu duduk di bangku sekolahan. Salah satunya karena mereka merasa dalam tekanan ketidakdinamisan kurikulum dan kekurang kreatifan guru-guru dalam merancang proses pembelajaran.

Tantangan Bagi Guru di Era Digital
Tantangan di masa depan, dengan karakteristik perkembangan masyarakat dan dunia yang semakin kompleks, menuntut guru untuk mampu memunculkan kreativitasnya dalam merancang model pembelajaran baru agar anak didiknya menjadi kreatif pula. Sehingga nantinya, para siswa mempunyai bekal dan kemampuan dalam menghadapi hidup yang makin mengglobal ini.
Nancy Walser, sebagaimana dikutip Manthey G (2008), dalam tulisannya berjudul Attaining 21st Century Skills in a Complex World, mengingatkan agar sekolah membekali anak didiknya dalam hal berpikir kritis, kemampuan kerja sama, keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan, bekerja mandiri, memimpin, beradaptasi secara cepat, dan tanggung jawab, serta memiliki wawasan global.
Kini, apa yang dikatakan oleh Walser itu telah terbukti. Masyarakat dunia didominasi oleh mereka yang memiliki pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan yang cukup tentang hal-hal tersebut di atas. Untuk bisa memiliki semua kemampuan tersebut, masyarakat berharap kepada institusi sekolah untuk dapat mewujudkannya. Karena sebagian besar waktu mereka di habiskan di sekolah. Sosok guru sangat penting disitu, karena ia adalah figur sentral dalam institusi sekolah.
Sekarang, dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin maju, perubahan struktur masyarakat yang semakin cepat, menuntut seorang guru untuk menjadi sosok yang khas, yang memahami materi pembelajaran secara luas, terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar serta mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan individual pada diri setiap anak.
Peran itu tidak akan mungkin dijalankan seorang guru ketika mereka sendiri tidak mau menyiapkan diri dan tidak mau berubah. Guru harus melakukan perubahan dari dirinya sendiri. Guru tidak selayaknya meminta pihak mana pun untuk mengubah dirinya. Gurulah yang harus menyelesaikan masalah pendidikan. Pemerintah hanya bertugas sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola administrasi pendidikan.
Salah satu perubahan yang harus di lakukan guru di era digital ini adalah mampu menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan menerapkannya dalam proses belajar-mengajar. Seorang guru harus mulai mengikuti trend pendidikan mutakhir. Trend TIK dengan fasilitas digital dan dukungan internet sebagai fasilitas belajar menjadikan kebutuhan wajib. Bila guru tidak berubah dan tetap bertahan dengan pola konvensional, maka ia akan tergilas oleh teknologi dan percepatan pengetahuan siswa-siswinya yang sangat melek teknologi. Kebutuhkan TIK sudah menjadi kebutuhan bersama. Konsep E-Learning sudah bergulir dan tidak sekedar wacana namun sudah menjadi realita.
Sungguh menyenangkan ketika penulis mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas , ketika dilakukan diskusi kelompok di kelas, siswa-siswa saling beradu argumentasi disertai data-data yang valid, akurat dan up to date. Sehingga suasana diskusi menjadi hangat dan bersemangat, para siswa termotivasi untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang materi yang didiskusikan. Pada waktu itu, penulis membebaskan para siswa untuk mengakses internet melalui ponsel yang dimiliki siswa. Dengan bantuan mesin pencari seperti “Google”, para siswa dengan mudah mendapatkan data yang mereka inginkan. Sehingga para siswa tidak akan kehabisan bahan atau sumber belajar. Mereka tidak terpaku kepada buku teks yang mereka miliki, namun bisa mengeksplor lebih jauh lagi dengan bantuan internet.
Penggunakan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran, sungguh menjadi kebutuhan pendidikan sekarang ini dan di masa depan. Dengan fasilitas TIK, proses pembelajaran menjadi menyenangkan, menarik, dan dapat merangsang keingintahuan siswa lebih jauh tentang materi yang dipelajari.
Seiring dengan hal tersebut di atas, Klub Guru Indonesia (KGI) sebagai organisasi profesi guru yang didirikan dan dibangun oleh para guru dan aktivis pendidikan berupaya untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya agar dapat menjadi pelaku perubahan dalam pembangunan bangsa ini. Para guru harus mampu mengubah dirinya sendiri menjadi guru profesional dibidangnya. Dengan motto “Sharing and Growing Together”, Klub Guru Indonesia akan menjadi komunitas yang tepat bagi para guru dan siapa saja yang tertarik dan peduli pada pentingnya memajukan dunia pendidikan dan keguruan.
Sebagai upaya agar para guru menguasai dan memahami TIK serta pro aktif menggunakannya dalam pembelajaran, Klub Guru Indonesia dengan support dari Intel Indonesia Corporation membuat program “Sagusala” (Satu Guru Satu Laptop) yang merupakan terobosan agar setiap guru di Indonesia memperoleh kemudahan dalam memiliki laptop sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran dan Sagumutu (Sekolah Guru Bermutu) dengan memberikan berbagai pelatihan TIK untuk guru yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan
Menjadi guru kreatif di tengah murid-murid masa kini memang tidak mudah tetapi juga bukan mustahil, semua tergantung pada diri sang guru itu sendiri. Mau berubah atau tidak.
*Penulis adalah Ketua Umum Klub Guru (KGI) Kalsel. ReadMore...

Guru, Episentrum Kebangkitan Nasional


Oleh: Taufikurrahman, S.Pd.I

Kondisi Bangsa Indonesia saat ini masih terpuruk. Di tengah kekisruhan di bidang politik ekonomi dan keadilan sosial seperti ini, Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan. Tantangan itu antara lain tantangan globalisasi, tantangan keapatisan masyarakat terhadap penegakan hukum, kepicikan rasa kedaerahan, budaya hedonis, eksklusivisme keagamaan dan tantangan keegoisan setiap individu.

Bangsa ini perlu bangkit. Namun, dari mana kita memulai kebangkitan bangsa ini? Jawabannya: dari dunia pendidikan. Pendidikan diyakini bisa berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia.

Pendidikan juga diyakini bisa mengangkat derajat bangsa menjadi lebih beradab dan modern. Itu sebabnya pendidikan menjadi kunci kebangkitan bangsa ini.

Dari sekian banyak elemen pendidikan, yang manakah yang bisa menjadi episentrum kebangkitan? Tak pelak lagi, elemen pendidikan paling penting adalah guru. Siswa tak ada artinya tanpa guru. Kepala sekolah tidak ada maknanya tanpa guru. Fasilitas yang canggih dan modern tidak ada gunanya bila tak ada guru. Guru menjadi titik sentral kemajuan pendidikan dan kebangkitan bangsa. Tanpa guru, boleh dikata kemajuan pendidikan dan kebangkitan bangsa ini hanya sebuah fatamorgana.

Lantas, bagaimana seharusnya guru memainkan peran pentingnya itu? Setidaknya, guru harus memiliki dan menguasai tiga hal penting, yakni “mumpuni” (kompeten) dalam bidang studi yang diajarkan, piawai dalam mengajar, dan menjadi teladan dalam perilaku (akhlakul karimah).

Tiga modalitas kekuatan guru inilah yang tidak boleh diabaikan, bila guru dianggap memiliki peran sentral dalam kemajuan dunia pendidikan dan kebangkitan bangsa. Guru harus menguasai ilmunya. Tanpa keunggulan ilmu (bidang studi yang ditekuni), guru sulit menghasilkan siswa-siswi yang pandai

Guru memang bukan satu-satunya lumbung ilmu pengetahuan. Tetapi, kadar ilmu pengetahuan yang dimiliki guru sangat berpengaruh dalam mendorong siswa untuk terus belajar dan belajar sepanjang hayatnya.

Dengan demikian, bukan mustahil akan terjadi sebuah revolusi pendidikan yang pada akhirnya menjadi awal terjadinya ”Kebangkitan Nasional di Indonesia yang berbasis pada guru”. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu Guru, apakah sudah siap mengaplikasikan peluang dan tantangan ini?

Harus ada suatu gebrakan dan kemauan yang serius untuk melakukan perubahan agar dunia Pendidikan di Indonesia menjadi lebih dinamis dan akseleratif. Bukan hanya menyangkut aspek ekonomi (anggaran), kurrikulum (materi dan system), dan atensi pada SDM pendidikan saja, namun juga kepada hal-hal yang bersifat revolusioner agar cita-cita untuk mencetak sumber daya manusia yang handal dan mumpuni, dapat menjadi nyata adanya. Di harapkan pendidikan di Indonesia dapat benar-benar menjadi tonggak akselerasi kebangkitan nasional di era globalisasi sekarang ini. Semoga !!!

Penulis: Staf Pengajar MAN 2 Banjarmasin ReadMore...

PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN


Oleh:
Siti Tarawiyah, M.Pd.I

“Saat ini 2,5 milliar orang hidup dengan kurang dari 2 dollar US per hari. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 827 juta penduduk miskin absolut, dan 1,7 milliar lainnya bertahan hidup dengan kurang dari 2 dollar US per hari. 65 negara, atau sekitar 1,2 miliar orang menghadapi resiko gagal dalam memenuhi sedikitnya satu sasaran Millenium Development Goals sampai tahun 2040” (Kofi Annan, mantan Sekjen PBB dalam Human Development Report 2005)
Gambaran Kofi Annan diatas adalah tanda yang sangat jelas mengenai beratnya tantangan untuk mereduksi kesenjangan sosial-ekonomi dunia saat ini. Pembagian antara sedikit kekayaan dan lautan luas kemiskinan yang mengelilinginya.
Keprihatinan terhadap pembagian 'kaya-miskin' dunia saat ini mendorong 189 pemimpin negara dari seluruh dunia mendeklarasikan Millennium Development Goals (MDGs) di tahun 2000 lalu; dengan visi mengurangi kemiskinan, penyakit dan kelaparan, memperbaiki tingkat harapan hidup bayi dan ibu hamil, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan yang sehat serta kerjasama ekonomi antar negara. .
Di Indonesia, kegagalan kita dalam bidang ekonomi-sosial adalah buah di antara kegagalan kita dalam memacu mutu dan kwalitas pendidikan. Point penting dari Pendidikan seharusnya adalah akses terhadap orang miskin dan kualitas pendidikan untuk investasi sosial, agar masyarakat menengah kebawah memiliki keterampilan yang cukup untuk dapat mengakses pekerjaan, menjadi manusia yang merdeka dan mampu menentukan arah dan tujuan hidup untuk kemudian memperbaiki kehidupan ekonomi dan keluar dari kemiskinan.
Namun, usaha yang dilakukan oleh sektor pendidikan kita tampaknya mengecewakan, fakta menunjukkan bahwa tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia sangat rendah. Educational Sector Review memperkirakan bahwa separuh dari pekerja sektor formal dan dua per tiga dari pekerja lainnya terdiri dari angkatan kerja yang tidak tamat sekolah dasar dan berusia muda (Balitbang-Dikbud & IEES, Educational Sector Review, Chapter 2, Economics and Finansial Analysis). Pengaruh negatif terhadap produktifitas nasional dari komposisi umur dan pendidikan tersebut cukup besar. Di samping itu, rata-rata tingkat pendidikan dari angkatan kerja di daerah perkotaan lebih tinggi dan dengan pertumbuhan jumlahnya yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan (Balitbang-Dikbud dan IEES, Educational Sector Review, Chapter 6, Vocational Technical Education). Yang berarti bahwa, masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mengakses lapangan pekerjaan karena minimnya keterampilan.
Indonesia - dari rapid assessment Depdiknas, Bappenas & Bank Dunia sepanjang tahun 2001, diperkirakan akan berpenduduk sekitar 254,2 juta pada tahun 2015. Saat itu, dengan penduduk usia 19-25 tahun sebanyak 25 juta jiwa, sekitar 6 juta diantaranya diperhitungkan akan melanjutkan ke pendidikan tinggi -atau sebesar 25%-. Rasio partisipasi ini masih jauh dari apa yang telah dicapai Korea Selatan atau Australia saat sekarang, dimana partisipasi generasi muda dalam pendidikan tinggi diperkirakan sudah mendekati angka 70%. Rasio partisipasi yang sangat rendah yang merupakan imbas dari kemiskinan yang sesungguhnya telah menggerogoti hampir lebih dari separo masyarakat Indonesia.
Persoalannya kemudian semakin diperparah ketika Indonesia, hanya mengakui ”sekolah” sebagai satu-satunya lembaga untuk ”memproduksi” masyarakat terdidik. Artinya, skala intelektualitas, skill dan kwalitas bangsa ini, harus keluar dari satu ”pabrik” formal yang legalitasnya hanya diakui pemerintah, yaitu sekolah. Padahal, sekolah di Indonesia juga tidak pernah bisa memberikan apa yang selama ini kita harapkan. Berdasarkan hasil studi kemampuan membaca tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh Organisasi International Educational Achievement (IEA), menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta (Benny Susanto, 2005). Bukan hanya secara kuantitatif, secara kulitatif pun ternyata pendidikan kita telah gagal. Angka kriminalitas, korupsi dan kejahatan sosial lainnya pun tak pernah terkendali. Pendidikan moral kita pun ternyata sama gagalnya dengan pendidikan intelektual. Sekolah
Kebijakan pendidikan kita yang ”tidak mencerdaskan” menurut banyak pakar tampaknya merupakan persoalan yang berakar dari kesalahan berfikir dalam paradigma pendidikan kita. Pendidikan bukan lagi alat untuk melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Dalam berbagai macam kebijakan pendidikan itu, terselip berbagai macam proyek yang sering hanya berujung pangkal pada uang dan keuntungan penguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain, sampai pencampuradukan antara kepentingan pemenangan agama yang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yang dituju. Semua serba kacau. Dan pendidikan berubah wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang simpang siur, proses penciptaan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap. Konstitusi yang jelas-jelas menitahkan agar negara ”mencerdaskan kehidupan berbangsa” sering tidak diberi makna yang adil dan memadai.

Pendidikan Yang Membebaskan

Menurut Paulo Freire, setiap manusia memiliki kemerdekaannya sendiri, setiap orang adalah tuan bagi pemikirannya. Tidak ada yang harus dan mampu menjadi nahkoda, bagi fikiran orang lain. Kemerdekaan setiap pemikiran, haruslah menjadi kerangka acuan dasar dalam mengembangkan pendidikan yang mampu membebaskan anak didik, sehingga setiap anak, dapat berkembang berdasarkan bakat dan keinginannya masing-masing.

Pendidikan, bagi Freire adalah sebuah proyek yang harus dilakukan bersama-sama antara guru dan murid yang bertujuan membangkitkan kesadaran yang secara fitrah dimiliki setiap manusia. Menurut Freire, setiap manusia, memiliki semacam kesadaran yang merupakan kekuatan utamanya sebagai manusia. Semakin tinggi tingkat kesadaran manusia, maka akan semakin besar pula perannya terhadap dunia. Manusia yang tidak memiliki kesadaran, akan mudah diperbudak, dan dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi ataupun pemenuhan hawa nafsu kelompok tertentu.

Berdasarkan konsep pendidikan yang berorientasi pada membangun kesadaran yang merdeka, maka Freire menawarkan sebuah sistem pendidikan bebas yang tidak boleh dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidikan haruslah berjalan dinamis berdasarkan bakat dan dinamika anak. Ketika sebuah sistem pendidikan mampu membantu anak didiknya untuk mengembangkan kesadaran internal diri, sehingga mereka mampu memahami dirinya sebagai sosok yang merdeka, bebas dan berkehendak, itulah sebenarnya pendidikan yang berhasil.

Sistem persekolahan yang membebankan murid dengan target kurikulum yang diolah oleh ”kaum atas”, tanpa memberikan kesempatan dan ruang bagi anak didik untuk dapat mengembangkan bakat dan kreatifitasnya secara maksimal, sesungguhnya adalah sebuah penjajahan terhadap kesadaran manusia dengan mengarahkan mereka pada tujuan-tujuan yang telah diarahkan oleh sekolah. Sekolah yang bekerja untuk mengejar target kurikulum, berorientasi terhadap raport dan mendasarkan standar keberhasilan dari kwantitas nilai yang terukur merupakan sebuah sistem yang mengajarkan anak untuk hanya menjadi pribadi-pribadi ”pengikut” dan tunduk terhadap sistem, bukan pribadi ”idealis dan kreatif” yang secara merdeka memiliki tanggungjawab mampu membangun dan membuka kesempatan bagi sendiri maupun orang lain. Sekolah selayaknya harus mampu menjadi lapangan dimana anak-anak kita bisa menari bebas dan bergembira dengan setiap potensi dan keinginan mereka untuk dikembangkan secara maksimal.. Bukan penjara dengan setumpuk buku yang harus dihapal dan target kurikulum yang mengikat mereka sehingga tak mampu bernafas secara merdeka.

Sistem yang membatasi dan hanya mengakui persekolahan formal sebagai satu-satunya sistem pendidikan yang diakui, adalah sebuah pembodohan terhadap masyarakat. Pendidikan semacam ini, membatasi dan mengikat dirinya pada sistem yang dikurung oleh empat dinding sebuah ruangan kelas adalah penjajahan terhadap kemerdekaan setiap individu untuk dapat belajar dan mencerdaskan dirinya secara merdeka. Anak-anak yang tidak keluar dari sebuah ”pabrik” yang disebut sekolah, secara sistemik akan teralienasi terhadap berbagai perangkat negara dan masyarakat yang diakui secara formal. Tanpa Ijazah TK, seorang anak takkan bisa mengecap bangku SD, padahal kemampuan dan bakatnya barangkali sama saja atau bisa lebih baik dari anak-anak TK secara umum karena ia dibimbing secara pribadi oleh orangtuanya di rumah. Seorang guru tak bisa mengembangkan kualifikasinya secara maksimal sepanjang ia tidak memiliki cukup piagam, surat penghargaan ataupun bukti-bukti formal untuk syarat akreditasnya. Sistem telah memenjarakan pendidikan kita pada ijazah dan persoalan legal formal yang korespondensinya dengan skill dan kemampuan pribadi tak bisa dipertanggungjawabkan secara utuh.

Karenanya, selain adanya pendidikan formal, perlu juga dikembangkan pendidikan alternatif yang membebaskan dan mandiri. Pembebasan berarti keluar dari belenggu aturan formal yang membuat murid tidak kritis dan tidak kreatif. Sedang kemandirian berarti belajar tanpa bergantung apapun dan siapapun. Sebagai contoh dari pendidikan jenis ini yang cukup berhasil adalah SMP Qoryah Thoyyibah di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir, sebelah timur Kota Salatiga. Mudjab sang pendiri, mengatakan bahwa sekolah alternatif ini didirikan karena selama ini lembaga pendidikan formal membelenggu anak dengan sederet aturan yang tidak jelas kepentingannya buat si anak. Seperti baju seragam, sepatu seragam dan masuk harus jam 7 pagi. Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Untuk itulah, para pengelola SMP QT membebaskan para peserta didiknya belajar menurut keinginan. Sumber pembelajaran telah tersedia tanpa batas. Bahkan pada persoalan hidup yang muncul setiap hari.

Sekolah ini mencoba menawarkan pendidikan bermutu dan murah. Bermutu bukan sekedar peringkat tinggi, tapi yang lebih penting mereka memberdayakan peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan sekitar. Metode pembelajaran SMP QT terfokus kepada anak didik, bukan guru. Dalam pendekatan seperti ini, anak-anak diberi kebebasan untuk belajar darimana saja, apa saja, dan tidak harus di kelas. Semuanya diserahkan kepada anak didik. Tidak jarang kalau kelas mereka kosong, karena murid-muridnya sedang asyik belajar di sawah, ladang atau sungai.

Prestasi siswanya ternyata juga tidak kalah dengan sekolah formal, Salah seorang siswanya menulis buku dari hasil risetnya dan menerima Indonesian Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Tak sampai di situ, sejumlah novel pop dan kumpulan puisi yang diproduksi murid sekolah ini sudah diterbitkan Penerbit Matapena, Yogyakarta. Menyusul kemudian kumpulan puisi, katalog lukisan, serta presentasi tertulis dan vcd berbagai mata pelajaran. Kini murid-murid sekolah itu sedang mempersiapkan sebuah album musik dan film hasil ciptaan mereka.

Sungguh, pendidikan yang baik harus bisa membebaskan anak untuk berkreasi, mengekspresikan perasaannya, dan sebagainya. Tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Dalam diri anak didik harus muncul kesadaran bahwa pendidikan itu untuk dia, belajar itu adalah hak bukan kewajiban. ReadMore...

Menyelami Jiwa Mendidik Seorang Guru


Oleh: Anton Kuswoyo
Pemerhati Pendidikan, tinggal di Banjarbaru
e-mail: kuswoyo_anton@yahoo.co.id

Guru adalah pekerjaan profesi yang sangat mulia. Dikatakan sangat mulia karena peran seorang guru tidak hanya sebagai pengajar, lebih dari itu guru dengan susah payah mendidik dan memberi suri tauladan kepada siswa-siswanya. Guru mempunyai dedikasi tinggi untuk menjadikan kehidupan siswa lebih bermakna dan potensi mereka terjelmakan. Dalam mengajar, guru memberikan inspirasi dan motivasi kepada siswa-siswanya.
Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Sebelum mengajar, seorang guru sudah menyiapkan bahan yang akan diajarkan sebaik-baiknya. Di dalam kelas guru berusaha semaksimal mungkin mengajak siswanya belajar. Dengungan siswa yang tertarik mengikuti pelajaran, tangan-tangan teracung penuh antusias, tubuh-tubuh condong ke depan penuh rasa ingin tahu, semua itulah suasana belajar yang diharapkan seorang guru. Setiap kata, pikiran, tindakan dan interaksi dengan siswa merupakan momen belajar.
Mengajar adalah hak untuk diraih dan diberikan oleh siswa. Belajar melibatkan semua aspek kepribadian manusia, pikiran, perasaan, bahasa tubuh, pengetahuan, sikap dan keyakinan untuk berhasil. Untuk dapat menjalankan itu semua, seorang guru harus bisa memasuki dunia siswa. Untuk menarik keterlibatan siswa, guru harus membangun hubungan, yaitu dengan menjalin rasa simpati dan saling pengertian. Hubungan akan membangun jembatan menuju kehidupan-bergairah siswa, membantu membuka jalan memasuki dunia-baru mereka, dan berbicara dengan bahasa hati-mereka. Membangun hubungan memerlukan niat, kasih sayang dan rasa saling pengertian.
Di dalam kelas guru mengajarkan kepada siswa-siswanya berbagai ilmu pengetahuan. Mengajar bukanlah perkara mudah, karena guru tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu, melainkan harus tahu bagaimana siswa-siswanya bisa menerima ilmu yang diajarkannya. Di sinilah nilai lebih seorang guru. Menghadapi puluhan siswa yang sifatnya berbeda-beda butuh suatu keterampilan khusus. Mengajar tidak hanya menyampaikan metode saja, tetapi juga menjalin komunikasi dua arah dengan siswa. Kemampuan untuk menjalin komunikasi inilah poin penting dalam mengajar. Bagaimana guru berbicara di depan kelas, menyampaikan pendapat, menjawab pertanyaan siswa, bahkan sampai bagaimana guru mengeluarkan humor-numor segar, untuk menghidupkan suasana kelas. Kadang siswa merasa tidak nyaman dengan gurunya, tidak nyambung dengan pelajaran yang disampaikan, enggan untuk bertanya karena gurunya tidak menanggapi pertanyaan dengan bahasa yang baik. Ini adalah masalah serius, jika siswa sudah merasa tidak nyaman dengan guru, maka sulit baginya untuk dapat menerima materi pelajaran yang disampaikan, sulit menerima ilmu yang diajarkan, bahkan merasa malas untuk mengikuti pelajaran di kelas. Kadang siswa suka kepada guru yang berjiwa muda, supel dalam pergaulan dengan siswa, dan tidak membatasi diri dengan siswa, sabar, pengertian dan mau mengerti kesulitan siswa, enak diajak diskusi maupun ngobrol ringan. Guru seperti inilah biasanya menjadi idola para siswa. Tapi tentunya masih dalam batas-batas hubungan antara guru dan murid.
Oleh sebab itu, langkah awal dalam mengajar adalah menjalin komunikasi dan memahami karakter tiap siswa. Karena kemampuan tiap siswa tidak sama, ada yang cepat paham ada yang lambat, ada yang perlu diulang-ulang beberapa kali baru mengerti, ada yang punya gaya belajar auditori, kinestetik maupun visual. Menghadapi berbagai sifat siswa memang perlu pendekatan khusus. Tiap siswa kadang perlu perlakuan yang berbeda-beda. Intinya adalah bagaimana membuat semua siswa nyaman dalam belajar. Tentu hal ini memerlukan kesabaran dan ketekunan seorang guru. Mendidik manusia memang susah, dan peran guru sangat menentukan di sini.
Bersifat terbuka dan bersahabat dengan siswa perlu dilakukan oleh seorang guru. Apalagi menganggap bahwa siswa adalah seolah-olah anaknya sendiri, sehingga tumbuh kasih sayang dalam diri guru kepada semua siswanya. Siswa pun merasa nyaman berada di dekat gurunya, sehingga proses transfer ilmu dari guru kepada siswa akan menjadi lebih mudah. Berkomunikasi dengan luwes dan mengajak siswa aktif di kelas akan menambah keharmonisan dalam proses belajar mengajar.
Memberikan suri tauladan dan contoh nyata dalam perilaku sehari-hari juga merupakan tugas guru. Mendidik artinya mengajarkan dan memberikan tauladan mengenai budi pekerti, moral, etika dan sopan santun. Sehingga kelak siswanya benar-benar menjadi generasi penerus yang berilmu serta berakhlakul karimah. Lebih-lebih di zaman sekarang ini, merosotnya moral dan etika anak-anak muda. Di satu sisi ini adalah akibat dari globalisasi dan pengaruh perkembangan teknologi yang semakin pesatnya, tapi di sisi lain ini adalah indikator pendidikan moral di sekolah-sekolah yang masih harus ditingkatkan lagi ke arah yang lebih baik. Mendidik tidak hanya memberikan berbagai konsep atau ajaran, tetapi bagaimana guru memberikan contoh langsung dalam perilakunya sehari-hari, dalam ucapannya, baik itu yang dilihat langsung oleh siswa maupun tidak. Jadi sebelum mendidik siswa, memang idealnya seorang guru sudah mendidik dirinya sendiri. Walaupun guru juga manusia yang tidak mungkin sempurna, tidak mungkin lepas dari salah hilaf, tapi berusaha untuk menjadi guru yang baik itu perlu dilakukan.
Di sinilah perlunya ”jiwa” mendidik seorang guru. Jika seorang guru sudah mempunyai jiwa mendidik, maka dalam perilaku dan ucapannya akan selalu mengandung ajaran-ajaran dan tauladan yang baik.
Guru juga harus bisa memberikan motivasi kepada siswa-siswanya. Menumbuhkan semangat belajar dan mendorong untuk selalu berprestasi. Mengarahkan bakat siswa dan turut mengembangkan potensi yang dimiliki siswanya. Menjadi tempat curhat dari hati ke hati, tempat konsultasi dan bertukar pengalaman.
Memang begitu berat tugas seorang guru. Itulah profesi, yang bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi juga bakat dan keikhlasan untuk mengabdi, bukan hanya sekedar melaksanakan kewajiban, tapi juga ibadah untuk mengharap rihdo Allah.
Di tanganmu wahai guru, nasib bangsa dan generasi muda ini. Untuk semua guru di Indonesia, semoga terus berkarya membangun bangsa. ReadMore...

ANTARA PRIHATIN DAN GEMBIRA PASCA KELULUSAN UN


Selesai sudah pengumuman hasil Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK tahun 2010 yang beberapa hari lalu di umumkan, menyusul SMP/MTS dan sederajat, tingkat kelulusan UN siswa SMA/SMK/MA dibandingkan tahun sebelumnya mengalami peningkatan dan penurunan. Mungkin angka kelulusan yang turun tersebut bukan berarti mutu pendidikan juga turun karena lebih disebabkan mungkin kian beratnya standar kelulusan.
Terkait dengan pengumuman hasil kelulusan tersebut, sudah selayaknya memberikan apresiasi kepada para siswa yang menerima keberhasilan ataupun kegagalan dengan sikap bijak.
Namun demikian, ada fenomena yang membuat hati terasa miris, prihatin dan sedih. Seperti yang terjadi diberbagai daerah ada yang stres, patah semangat, melempari sekolah dan bahkan bunuh diri dan banyak lagi problem pasca UN bagi yang tidak lulus. Tak terlepas dari itu termasuk Banjarmasin dan di Kabupaten/Kota lainnya, siswa yang lulus melakukan aksi coret-coret dan konvoi kendaraan pun kembali terulang yang mengganggu lalu lintas dijalan, ini seolah-olah sulit dihilangkan dari perilaku siswa setelah kelulusan setiap tahunnya, bahkan entah apa maksudnya atau kah meluapkan kegembiraan ketika mendengar kata lulus. Tetapi ada beberapa sekolah dengan melihat kondisi kelulusan siswa menyikapi dengan berbagai cara agar meluapkan kegembiraannya dengan cara-cara yang positif.
Pada fokus ini, tentunya bersedia coba merenungkan kembali pelaksanaan pendidikan yang dijalankan. UN memang selesai dan hasilnya diumumkan, tapi apakah bisa menjamin keadaan siswa setelah dinyatakan lulus? Dalam dunia realitas, tak bisa memungkiri adanya anggapan bahwa moralitas siswa sekolah perlahan tergerus oleh zaman. Untuk mencari sebab, para penyelenggara pendidikan jelas tak bisa cuci tangan terkait tindakan siswa yang kerap dinilai nir-moral tersebut. Disadari atau tidak, proses pendidikan yang kita jalankan belum seutuhnya mengajarkan kepada para siswa perihal keluhuran dan kearifan hidup.
Siapa pun tentu tidak lupa dengan hakikat pendidikan. Secara filosofis, pendidikan diselenggarakan untuk mengupayakan pembentukan manusia agar benar-benar menjadi manusia. Melalui proses pendidikan, siswa sebagai individu manusia ditempa untuk mampu memahami hakikat manusia dan kemanusiaan.
Timbul suatu pertanyaan, adakah kita telah membelajarkan para siswa untuk menjadi manusia sejati ? memang sangat ironis jika dunia pendidikan menghalalkan segala cara dan ketidakjujuran. Demi mencapai hasil maksimal dalam UN, tindakan kurang elegan dilakukan. Untuk itu kita mari melihat lebih jernih lagi, perilaku ketidakjujuran pada dasarnya tidak melulu terkait dengan UN. Dalam ujian sekolah pun ketidakjujuran kerap kali marak dilakukan.
Berbeda dengan ujian sekolah, kasus ketidakjujuran dalam UN menyedot perhatian karena lingkupnya luas. Selain berskala nasional, kebijakan UN juga masih diliputi pro dan kontra. Mungkin saja ketidaksportifan dalam hajatan UN mudah terkuak ke permukaan karena salah satunya bertujuan untuk menjatuhkan citra UN di mata publik.
Tanpa bermaksud menggeneralisir, karena tak bisa menutup mata terhadap realitas ketidakjujuran tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan. Siswa di sekolah sepertinya tak pernah dibelajarkan untuk melihat kenyataan obyektif dirinya. Setiap kali yang kita lakukan justru memanipulasi kemampuan siswa. Disadari atau tidak, siswa hanya ditanamkan arti sebuah keberhasilan, tapi abai menanamkan pengertian terhadap makna kegagalan.
Kita pun telah mengerti jika pendidikan berupaya menjadikan siswa sebagai individu manusia terdidik. Melalui proses pendidikan, siswa tak sekadar diarahkan untuk cakap menghafalkan rumus-rumus hitung, berdebat Bahasa Inggris atau menentukan PG (pilihan ganda) pada lembar jawab ujian. Lebih dari itu, pendidikan mengorientasikan siswa agar memiliki keanggunan moral, cerdas secara afeksi, dan tertantang secara sosial untuk membangun masyarakatnya.
Pendidikan di sekolah tentu perlu mengoptimalkan seluruh potensi siswa, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun spiritual. Bagaimana pun, kita tetap mengakui bahwa mata pelajaran yang diujikan dalam UN layak dipelajari.
Namun demikian, kita juga tak bisa membohongi hati nurani jika pola belajar yang dilakukan selama ini lebih mengejar perolehan angka kuantitatif. Dengan kata lain, orientasi pencapaian angka-angka sering kali mengalpakan pembentukan sikap dan perilaku pada diri siswa. Alangkah menimbulkan keprihatinan ketika kita menyaksikan fenomena sekolah menjelang pelaksanaan UN. Pelajaran tambahan, bahkan kebijakan jam ke-0 diberlakukan demi mengejar target kelulusan.
Disamping itu, sekolah juga mengagendakan program uji coba UN dimana siswa digenjot habis-habisan berlatih menggarap prediksi soal-soal UN. Memang apa yang dilakukan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun justru bisa mengakibatkan hakikat belajar dan pendidikan tereduksi.
Perlu ditegaskan juga bahwa tes semacam UN hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diujikan. Gambaran tersebut juga amat tergantung pada kualitas alat ukur yang digunakan karena tes tak pernah luput dari kesalahan.
Bahkan, faktor-faktor seperti kondisi kesehatan dapat mengaburkan gambaran kemampuan siswa yang sesungguhnya. Dari pengertian tersebut kita tentu memahami bahwa hasil tes bersifat relatif. Bisa jadi siswa memperoleh hasil memuaskan saat uji coba UN, namun gagal dalam UN. Siswa yang tidak lulus UN juga dimungkinkan lulus jika pelaksanaan UN diulang.
Lebih jauh lagi, hasil memuaskan dalam UN belum menjamin siswa bisa menembus perguruan tinggi negeri lewat seleksi penerimaan mahasiswa baru. Untuk itulah, kita sering kali melihat siswa yang telah diterima di perguruan tinggi justru tidak lulus UN. Bahkan, ada juga siswa yang prestasi belajarnya di kelas terbilang baik, namun tak kuasa menembus standar nilai kelulusan.
Melalui tulisan ini bukan berarti menggugat kebijakan UN. Yang namanya Ujian tetap ada dan penting dilaksanakan dengan terus melakukan evaluasi agar lebih baik ke depan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemaknaan kembali hakikat pendidikan dalam melahirkan individu-individu manusia terdidik.
Apakah kita telah membentuk sikap dan perilaku mulia dalam diri siswa? Apakah pendidikan yang kita selenggarakan telah menanamkan nilai-nilai kesejatian hidup? dalam bahasa kurang santun, buat apa perolehan angka-angka dalam lembaran ijasah jika tak kuasa memberikan kebermaknaan bagi kehidupan? Sebagai insan pendidikan, kita memang dituntut melakukan refleksi.

Rahmadhani Rasyid
rasyid_bjm@ymail.com ReadMore...

Guru Membuat Karya Ilmiah, Siapa Takut...!!!


Untuk kenaikanjabatan/pangkat setingkat lebih tinggi dari Guru Pertama, pangkat Penatan Muda, Golongan Ruang III/a sampai dengan Guru Utama, pangkat Pembina Utama, Golongan Ruang IV/e wajib melakukan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang meliputi sub unsur pengembangan diri.....”

Demikian bunyi petikan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya yang kami dapat dari salah satu media cetak di Banjarmasin.

Adanya Peraturan Menteri ini disikapi berbeda oleh teman-teman guru. Adanya yang bersikap proaktif dalam artian mempersiapkan sejak isu tersebut ada dan ada yang pasif dalam artian masih menunggu sosialisasi formal dari Dinas Pendidikan. Reaksi yang paling serius adalah adanya kekhawatiran yang berlebih yang dialami oleh guru. Kecemasan tersebut berkaitan adanya hambatan kenaikan jabatan atau golongan ruang. Jika tidak membuat karya ilmiah maka akan menjadi guru Penata Muda seumur hidup. kecemasan ini beralasan mengingat rendahnya keinginan guru untuk membuat karya ilmiah.

Peristiwa kecemasan ini terulang ketika adanya kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru dan dosen. Guru yang akan mendapatkan kuota sertifikasi berlomba-lomba mendapatkan sertifikat kegiatan seminar dan yang sejenis untuk mengejar target nilai. Semahal apapun kegiatan seminar pasti akan diikuti asal ada bukti fisik berupa sertifikat. Maka merebaklah kegiatan seminar baik tingkat daerah, nasional bahkan internasional.Pelaksanaan seminar yang benar-benar berbobot sampai yang terkesan asal seminar diadakan yang penting ada sertifikatnya.

Peluang bisnis rupanya juga tercium dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah diatas oleh pihak tertentu. Dengan memasang paket harga yang tidak rasional untuk kegiatan workshop karya ilmiah tersebut. Lagi-lagi guru dihadapkan dengan pilihan sulit. Ikut acara tersebut dengan biaya yang tidak rasional atau menjadi guru dengan golongan ruang yang paling rendah seumur hidup.

Solusi Cerdas

Guru adalah pendidik yang cerdas. Adanya kebijakan pemerintah tersebut akan disikap dengan cara elegan. Ada beberapa solusi yang harus dilakukan oleh guru yang cerdas.Pertama, Secara proaktif meminta klarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang untuk menjelaskan perkara tersebut, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten misalnya. Guru tidak boleh terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan kecemasan yang berlebih.Kedua, Jika kebijakan tersebut setelah diklarifikasi/sosialisasi oleh pihak yang berwenang maka harus ada prasangka baik kepada pemerintah. Pemerintah pasti telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mencerdaskan guru untuk membuat karya ilmiah. Jadi Pemerintah tidak akan menuntut sesuatu yang berlebih kepada guru sebelum memberikan bekal kepada guru.Ketiga, mengaktifkan kembali Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau yang semisal untuk mengadakan workshop yang berkaitan dengan pembuatan karya ilmiah. Cara ini sangat efektik dan ekonomis. Dikatakan efektif karena workshop yang dilaksanakan oleh MGMP yang bersangkutan sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru. Dan ekonomis karena pengurus cukup mendatangkan nara sumber yang benar-benar mengerti tentang karya ilmiah (PTK, misalnya).Nara sumber ini bisa dari kalangan guru sendiri yang telah melaksanakan karya ilmiah.Keempat, mendorong sekolah tempat guru bertugas untuk melaksanakan workshop atau In House Training (IHT). Dana kegiatan tersebut dapat bersumber dari dana Block Grant atau bersumber dari Komite Sekolah.Kelima, mendorong organisasi-organisai guru seperti PGRI, KGI/IGI (Klub Guru Indonesia/Ikatan Guru Idonesia) untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat praktis. Sehingga ketika kegiatan tersebut dilaksanakan oleh mereka (PGRI, KGI/IGI) tidak berorentasi pada keuntungan. Jadi mengikuti workshop atau In House Training (IHT) berkualitas dan murah.Keenam, membuat karya ilmiah itu mudah. Guru telah membuatnya dengan tidak langsung. Ketika guru melaksanakan pembelajaran kemudian mendapatkan masalah dan guru melakukan beberapa rekayasa , akhirnya mampu menyelesaikan masalah pembelajaran yang ia alami. Ini adalah bagian dari PTK. Pengalaman dalam proses pembelajaran yang dimanajemen dengan pola tertentu adalah PTK. Jadi PTK itu mudah. Ketujuh, menggandeng mahasiswa perguruan tinggi untuk melaksanakan karya ilmiah. Jika karya ilmiah ini berbetuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) maka PTK ini dapat dilaksanakan dengan prinsip kolaborasi. Ini adalah bentuk kerja sama simbiosis mutualisme yang cerdas. Hasil PTK ini adalah kolaborasi antara pengalaman guru dan kedalaman teori oleh mahasiswa. Sehingga PTK tersebut sangat solutif. Ini adalah pengalaman penulis. Kedelapan, manfaat era teknologi dan informasi.Untuk guru pemula model ini sangat efektif. Guru hanya “berselancar” di dunia maya (internet) dengan mengetik “PTK” atau “karya ilmiah guru” maka akan didapat ratusan contoh tentang PTK. Tinggal mengedit yang perlu diedit maka jadilah PTK dengan sejumlah data yang telah disesuaikan dengan data faktual siswa yang ada di sekolahan guru yang bersangkutan.Kesembilan, otodidak plus. Melaksanakan karya ilmiah semisal PTK perlu ilmu. Ilmu ini berkaitan dengan teori dan praktek. Mendapatkan ilmu PTK secara teori dapat dipelajari sendiri (otodidak) jika ada diantara teori PTK yang tidak dapat dimengerti maka solusinya adalah teman sejawat. Untuk praktik, prinsip PTK kalaborasi teman sejawat adalah solusi praktisnya. Strategi ini sangat cocok untuk guru pemula. Kesepuluh, Reunifikasi dengan Dosen. Dosen adalah gurunya guru. Ketika guru bermasalah dengan proses pembelajaran atau yang lainnya, beliaulah solusinya. Dunia Dosen lebih terbiasa dengan pembuatan karya ilmiah. Sehingga pembuatan PTK atau karaya ilmiah dengan dibantu oleh Dosen kita lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Demikianlah sepuluh jurus ampuh menghancurkan tembok keengganan guru membuat karya ilmiah dengan cara yang cerdas, efektif dan ekonomis. Jadi jika pemerintah mewajibkan guru untuk membuat karya ilmiah, siapa takut....?

Muhammad Ahsanul Huda, S.Pd

Pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI)

Kalimantan Selatan

ReadMore...

Guru Bukan Sales Buku


Setiap menjelang tahun ajaran baru atau awal semester, anggaran pendidikan orang tua siswa selalu melonjak. Melonjaknya anggaran pendidikan orang tua siswa Salah satu penyebabnya adalah pembelian buku paket atau LKS (Lembar Kerja Siswa) oleh siswa. Bisanya pada masa-masa ini pro dan kontrapun terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pihak yang kontra dengan adanya penjualan buku paket atau LKS di sekolah beranggapan bahwa pemerintah telah mengadakan pendidikan gratis. Pendidikan gratis juga mencakup penyediaan buku paket oleh pemerintah sehingga tidak perlu lagi adanya penjualan buku oleh pihak sekolah. Sedangkan pihak yang pro dengan penjualan buku kepada siswa oleh guru adalah untuk mempermudah proses belajar mengajar, buku yang tersedia tidak relevan dengan kurikulum yang berlaku.
Untuk mengatasi perkara tersebut maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan. Pertama, tahun 2005, Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, pemerintah menetapkan masa pemakaian buku teks pelajaran selama lima tahun. Aturan ini dimaksudkan agar buku tidak hanya dipakai satu tahun saja, tapi bisa digunakan untuk beberapa tahun oleh angkatan berikutnya. Namun peraturan ini tidak berjalan dengan baik. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional yang mengamanatkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyediakan buku teks bagi semua mata pelajaran di sekolah, maka Depdiknas pun mendistribusikan buku pelajaran gratis ke sekolah-sekolah. Namun, lagi-lagi pendistribusian buku-buku tersebut tidak bermanfaat banyak Ketiga, program kebijakan buku elektronik atau e-book untuk


siswa Sekolah Dasar hingga SMA. Buku elektronik ini nantinya akan bisa diakses dari internet. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 2/2008 yang berisi antara lain pemerintah pusat dan daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Semua orang berhak menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan, dan atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Kendala yang paling besar adalah belum semua daerah atau sekolah di Tanah Air yang bisa masuk jaringan internet. Di samping itu, kekurangmerataan kemampuan pihak sekolah dan murid menggunakan teknologi internet juga menjadi kendala. Buruknya opini yang beredar Keempat, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 11 tahun 2005 tentang buku teks pelajaran, beberapa kebijakan pemerintah berkaitan dengan buku sekolah antara lain menghilangkan monopoli penulisan dan penerbitan buku sekolah.Kepmen itu antara lain mengatur tentang larangan penjualan buku oleh penerbit langsung ke sekolah, melarang guru terlibat dalam penjualan buku, penetapan masa pakai buku lima tahun agar beban masyarakat berkurang, peningkatan peran komite sekolah dalam memberikan petimbangan pemilihan buku di sekolah.Adanya kasus penjualan buku oleh oknum guru di sekolah mencoreng citra guru ditengah masyarakat. Tentu semua orang tidak menghendaki adanya reduksi profesi guru. Guru adalah pahlawan. Guru adalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam kembali mengangkat citra seorang guru, diantarnya adalah “Katakan tidak untuk menjual buku!!!”. Berikut dampak negative yang muncul jika aktivitas penjualan buku tetap dilakukan. Pertama, Mematikan kretivitas dan inovasi guru dalam mengembangkan mata pelajaran yang diasuh. Guru pada dasarnya adalah seorang yang inovatif dan idealisme. Rasa ini akan sangat bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidik. Ketika rasa ini mati, maka yang terjadi adalah professional sebagai seorang guru akan mati suri. Hal ini terjadi karena guru sudah merasa cukup dengan materi yang ada di buku paket atau di LKS. Adanya kodefikasi materi olah penerbit buku menciptakan rasa malas berinovasi dan berkreasi dalam mengembangkan ilmu yang ia miliki. Ingat kasus kenapa muslim sekarang rendah keinginan untuk mengkaji bahasa Arab?Karena keterpakaian bahasa Arab sudah tergantikan dengan alih bahasa. Adanya Qur’an terjemahan, kitab-kitab hadits terjemahan adalah contoh kodefikasi yang tanpa kita sadari melemahkan keinginan untuk mempelajari bahasa Arab. Demikian pula hanya dengan merebaknya buku-buku paket dan LKS jika kita tidak arif menyikapinya akan menyadi boomerang. Guru akan berasumsi semua materi sudah lengkap dan tersedia untuk apa mengembangkannya lagi.Dampak dari matinya rasa ini meneyebabkan guru enggan untuk menulis, melakukan penelitian. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa karir guru banyak yang terhenti pada golongan IVa.Kedua, manjadi katalisator siswa miskin kreativitas. Akumulasi dari dampak penggunaan buku paket atau LKS yang keliru berdampak pada
Terbentuknya mindset yang keliru tentang buku yang ia miliki. Siswa beranggapan bahwa materi yang ia pelajari hanya yang ada dalam buku yang ia miliki.Siswa tidak memahami bahwa materi pelajaran yang ada di bukunya hanya sebagaian kecil dari serpihan ilmu. Siswa yang kurang memiliki kreativitas dalam mencari sumber belajar perlu diteliti lebih lanjut sejauh mana efek negativnya terhadap hasil belajar siswa.Ketiga,Siswa tertekan. Adanya oknum guru yang menjual buku di sekolah makin memambah beban siswa. Siswa sudah terbebani dengan padatnya kurikulum ditambah lagi siswa merasa tertekan ketika ia tidak mampu melunasi cicilan pembayaran buku. Boleh jadi karena strees siswa menyebabkan siswa tidak mampu optimal dalam pembelajaran. Minder karena belum melunasi buku juga memberikan sumbangan terhadap tingkat tertekannya siswa. Keempat, memperburuk citra profesi guru. Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission).
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Mulianya tugas guru seolah menjadi sirna dengan adanya opini buruk dari masyarakat dan anak didik itu sendiri.
Demikianlah dampak negative yang muncul dari aktivitas “terlarang” tersebut.

Pertanyaan berikutnya bagaimana cara memutuskan mata rantai tersebut? Berikut beberapa solusi untuk mengatasinya menurut penulis. Pertama, Kebijakan pemerintah yang mencerdaskan guru. Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mengembangkan potensi guru. Rekayasa-rekaysa yang dilakukan untuk meningkatkan valensi guru langsung bersentuhan dengan ranah pembelajran yang bersifat praktis. Misalnya guru mengadakan pelatihan tepat guna untuk pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Misalnya memaksimalkan kerlibatan informasi dan teknologi sebagai media atau sumber belajar. Memberikan reward yang bermanfaat untuk pengembangan pendidikannya. Tidak hanya pemerintah memberikan pelatihan yang bersifat mengayakan metode pembelajaran tetapi juga memberikan kesempatan dan mempermudah guru untuk melanjutkan pendidikan ketingkat berikutnya. Dengan adanya usaha yang optimal oleh pemerintah maka guru tidak mencari usaha sampingan tetapi dengan kemampunnya ia mampu menjadi “kaya” inovasi yang berujung pada peningkatan pendapatan keluarga.Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah seperti meneyediakan e-book terasa mubazir, karena kurangnya kemampuan guru untuk mengembangkan menjadi media belajar yang menyenangkan siswa. Kedua, Adanya masyarakat peduli pendidikan. Masyarakat yang memiliki pendapatan yang berlebih dapat memberikan sumbangsih untuk kemajuan dunia pendidikan. Misalnya, perpartisipasi dalam pengadaan media atau sumber pembelajaran. Ketiga, mengoptimalkan valensi diri guru. Konsep belajar sepanjang hayat benar-benar menjadi aspirasi bagi guru. Belajar dan berkarya adalah motto seorang guru. Diharapkan muncul sikap cerdas dan kritis dari guru. Misalnya bagaimana guru merespon buku-buku paket yang menjamur.Buku-buku yang beredar di sekolahan adalah produk “pengarang luar”. Mereka tidak memahami keadaan siswa di sekolah tempat guru tersebut mengajar. Gurulah yang lebih memahami kemampuan siswanya. Sehinggga sangat berarti jika guru mulai membuat perkara yang kecil. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS), misalnya. Diharapkan “produk local” lebih mebantu siswa dalam belajar, tentunya tanpa melupakan karya orang lain. Tidak hanya meningkatkan valensi guru dalam mengembangkan bahan ajar juga menanamkan maindset cara belajar yang benar dari buku-buku paket yang beredar.

Adanya rekasaya oleh pemerintah dan adanya belajar mandiri oleh guru akan mampu mengembalikan guru pada misi dan visi, yakni mencerdaskan anak bangsa. Guru bukan sales buku. Tetapi guru adalah agen terdepan untuk mencerdaskan anak bangsa. Wallahu’alam.
ReadMore...