ANTARA PRIHATIN DAN GEMBIRA PASCA KELULUSAN UN


Selesai sudah pengumuman hasil Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK tahun 2010 yang beberapa hari lalu di umumkan, menyusul SMP/MTS dan sederajat, tingkat kelulusan UN siswa SMA/SMK/MA dibandingkan tahun sebelumnya mengalami peningkatan dan penurunan. Mungkin angka kelulusan yang turun tersebut bukan berarti mutu pendidikan juga turun karena lebih disebabkan mungkin kian beratnya standar kelulusan.
Terkait dengan pengumuman hasil kelulusan tersebut, sudah selayaknya memberikan apresiasi kepada para siswa yang menerima keberhasilan ataupun kegagalan dengan sikap bijak.
Namun demikian, ada fenomena yang membuat hati terasa miris, prihatin dan sedih. Seperti yang terjadi diberbagai daerah ada yang stres, patah semangat, melempari sekolah dan bahkan bunuh diri dan banyak lagi problem pasca UN bagi yang tidak lulus. Tak terlepas dari itu termasuk Banjarmasin dan di Kabupaten/Kota lainnya, siswa yang lulus melakukan aksi coret-coret dan konvoi kendaraan pun kembali terulang yang mengganggu lalu lintas dijalan, ini seolah-olah sulit dihilangkan dari perilaku siswa setelah kelulusan setiap tahunnya, bahkan entah apa maksudnya atau kah meluapkan kegembiraan ketika mendengar kata lulus. Tetapi ada beberapa sekolah dengan melihat kondisi kelulusan siswa menyikapi dengan berbagai cara agar meluapkan kegembiraannya dengan cara-cara yang positif.
Pada fokus ini, tentunya bersedia coba merenungkan kembali pelaksanaan pendidikan yang dijalankan. UN memang selesai dan hasilnya diumumkan, tapi apakah bisa menjamin keadaan siswa setelah dinyatakan lulus? Dalam dunia realitas, tak bisa memungkiri adanya anggapan bahwa moralitas siswa sekolah perlahan tergerus oleh zaman. Untuk mencari sebab, para penyelenggara pendidikan jelas tak bisa cuci tangan terkait tindakan siswa yang kerap dinilai nir-moral tersebut. Disadari atau tidak, proses pendidikan yang kita jalankan belum seutuhnya mengajarkan kepada para siswa perihal keluhuran dan kearifan hidup.
Siapa pun tentu tidak lupa dengan hakikat pendidikan. Secara filosofis, pendidikan diselenggarakan untuk mengupayakan pembentukan manusia agar benar-benar menjadi manusia. Melalui proses pendidikan, siswa sebagai individu manusia ditempa untuk mampu memahami hakikat manusia dan kemanusiaan.
Timbul suatu pertanyaan, adakah kita telah membelajarkan para siswa untuk menjadi manusia sejati ? memang sangat ironis jika dunia pendidikan menghalalkan segala cara dan ketidakjujuran. Demi mencapai hasil maksimal dalam UN, tindakan kurang elegan dilakukan. Untuk itu kita mari melihat lebih jernih lagi, perilaku ketidakjujuran pada dasarnya tidak melulu terkait dengan UN. Dalam ujian sekolah pun ketidakjujuran kerap kali marak dilakukan.
Berbeda dengan ujian sekolah, kasus ketidakjujuran dalam UN menyedot perhatian karena lingkupnya luas. Selain berskala nasional, kebijakan UN juga masih diliputi pro dan kontra. Mungkin saja ketidaksportifan dalam hajatan UN mudah terkuak ke permukaan karena salah satunya bertujuan untuk menjatuhkan citra UN di mata publik.
Tanpa bermaksud menggeneralisir, karena tak bisa menutup mata terhadap realitas ketidakjujuran tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan. Siswa di sekolah sepertinya tak pernah dibelajarkan untuk melihat kenyataan obyektif dirinya. Setiap kali yang kita lakukan justru memanipulasi kemampuan siswa. Disadari atau tidak, siswa hanya ditanamkan arti sebuah keberhasilan, tapi abai menanamkan pengertian terhadap makna kegagalan.
Kita pun telah mengerti jika pendidikan berupaya menjadikan siswa sebagai individu manusia terdidik. Melalui proses pendidikan, siswa tak sekadar diarahkan untuk cakap menghafalkan rumus-rumus hitung, berdebat Bahasa Inggris atau menentukan PG (pilihan ganda) pada lembar jawab ujian. Lebih dari itu, pendidikan mengorientasikan siswa agar memiliki keanggunan moral, cerdas secara afeksi, dan tertantang secara sosial untuk membangun masyarakatnya.
Pendidikan di sekolah tentu perlu mengoptimalkan seluruh potensi siswa, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun spiritual. Bagaimana pun, kita tetap mengakui bahwa mata pelajaran yang diujikan dalam UN layak dipelajari.
Namun demikian, kita juga tak bisa membohongi hati nurani jika pola belajar yang dilakukan selama ini lebih mengejar perolehan angka kuantitatif. Dengan kata lain, orientasi pencapaian angka-angka sering kali mengalpakan pembentukan sikap dan perilaku pada diri siswa. Alangkah menimbulkan keprihatinan ketika kita menyaksikan fenomena sekolah menjelang pelaksanaan UN. Pelajaran tambahan, bahkan kebijakan jam ke-0 diberlakukan demi mengejar target kelulusan.
Disamping itu, sekolah juga mengagendakan program uji coba UN dimana siswa digenjot habis-habisan berlatih menggarap prediksi soal-soal UN. Memang apa yang dilakukan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun justru bisa mengakibatkan hakikat belajar dan pendidikan tereduksi.
Perlu ditegaskan juga bahwa tes semacam UN hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diujikan. Gambaran tersebut juga amat tergantung pada kualitas alat ukur yang digunakan karena tes tak pernah luput dari kesalahan.
Bahkan, faktor-faktor seperti kondisi kesehatan dapat mengaburkan gambaran kemampuan siswa yang sesungguhnya. Dari pengertian tersebut kita tentu memahami bahwa hasil tes bersifat relatif. Bisa jadi siswa memperoleh hasil memuaskan saat uji coba UN, namun gagal dalam UN. Siswa yang tidak lulus UN juga dimungkinkan lulus jika pelaksanaan UN diulang.
Lebih jauh lagi, hasil memuaskan dalam UN belum menjamin siswa bisa menembus perguruan tinggi negeri lewat seleksi penerimaan mahasiswa baru. Untuk itulah, kita sering kali melihat siswa yang telah diterima di perguruan tinggi justru tidak lulus UN. Bahkan, ada juga siswa yang prestasi belajarnya di kelas terbilang baik, namun tak kuasa menembus standar nilai kelulusan.
Melalui tulisan ini bukan berarti menggugat kebijakan UN. Yang namanya Ujian tetap ada dan penting dilaksanakan dengan terus melakukan evaluasi agar lebih baik ke depan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemaknaan kembali hakikat pendidikan dalam melahirkan individu-individu manusia terdidik.
Apakah kita telah membentuk sikap dan perilaku mulia dalam diri siswa? Apakah pendidikan yang kita selenggarakan telah menanamkan nilai-nilai kesejatian hidup? dalam bahasa kurang santun, buat apa perolehan angka-angka dalam lembaran ijasah jika tak kuasa memberikan kebermaknaan bagi kehidupan? Sebagai insan pendidikan, kita memang dituntut melakukan refleksi.

Rahmadhani Rasyid
rasyid_bjm@ymail.com

Comments :

0 komentar to “ANTARA PRIHATIN DAN GEMBIRA PASCA KELULUSAN UN”

Posting Komentar