PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN


Oleh:
Siti Tarawiyah, M.Pd.I

“Saat ini 2,5 milliar orang hidup dengan kurang dari 2 dollar US per hari. Pada tahun 2015, diperkirakan ada 827 juta penduduk miskin absolut, dan 1,7 milliar lainnya bertahan hidup dengan kurang dari 2 dollar US per hari. 65 negara, atau sekitar 1,2 miliar orang menghadapi resiko gagal dalam memenuhi sedikitnya satu sasaran Millenium Development Goals sampai tahun 2040” (Kofi Annan, mantan Sekjen PBB dalam Human Development Report 2005)
Gambaran Kofi Annan diatas adalah tanda yang sangat jelas mengenai beratnya tantangan untuk mereduksi kesenjangan sosial-ekonomi dunia saat ini. Pembagian antara sedikit kekayaan dan lautan luas kemiskinan yang mengelilinginya.
Keprihatinan terhadap pembagian 'kaya-miskin' dunia saat ini mendorong 189 pemimpin negara dari seluruh dunia mendeklarasikan Millennium Development Goals (MDGs) di tahun 2000 lalu; dengan visi mengurangi kemiskinan, penyakit dan kelaparan, memperbaiki tingkat harapan hidup bayi dan ibu hamil, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan yang sehat serta kerjasama ekonomi antar negara. .
Di Indonesia, kegagalan kita dalam bidang ekonomi-sosial adalah buah di antara kegagalan kita dalam memacu mutu dan kwalitas pendidikan. Point penting dari Pendidikan seharusnya adalah akses terhadap orang miskin dan kualitas pendidikan untuk investasi sosial, agar masyarakat menengah kebawah memiliki keterampilan yang cukup untuk dapat mengakses pekerjaan, menjadi manusia yang merdeka dan mampu menentukan arah dan tujuan hidup untuk kemudian memperbaiki kehidupan ekonomi dan keluar dari kemiskinan.
Namun, usaha yang dilakukan oleh sektor pendidikan kita tampaknya mengecewakan, fakta menunjukkan bahwa tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia sangat rendah. Educational Sector Review memperkirakan bahwa separuh dari pekerja sektor formal dan dua per tiga dari pekerja lainnya terdiri dari angkatan kerja yang tidak tamat sekolah dasar dan berusia muda (Balitbang-Dikbud & IEES, Educational Sector Review, Chapter 2, Economics and Finansial Analysis). Pengaruh negatif terhadap produktifitas nasional dari komposisi umur dan pendidikan tersebut cukup besar. Di samping itu, rata-rata tingkat pendidikan dari angkatan kerja di daerah perkotaan lebih tinggi dan dengan pertumbuhan jumlahnya yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan (Balitbang-Dikbud dan IEES, Educational Sector Review, Chapter 6, Vocational Technical Education). Yang berarti bahwa, masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mengakses lapangan pekerjaan karena minimnya keterampilan.
Indonesia - dari rapid assessment Depdiknas, Bappenas & Bank Dunia sepanjang tahun 2001, diperkirakan akan berpenduduk sekitar 254,2 juta pada tahun 2015. Saat itu, dengan penduduk usia 19-25 tahun sebanyak 25 juta jiwa, sekitar 6 juta diantaranya diperhitungkan akan melanjutkan ke pendidikan tinggi -atau sebesar 25%-. Rasio partisipasi ini masih jauh dari apa yang telah dicapai Korea Selatan atau Australia saat sekarang, dimana partisipasi generasi muda dalam pendidikan tinggi diperkirakan sudah mendekati angka 70%. Rasio partisipasi yang sangat rendah yang merupakan imbas dari kemiskinan yang sesungguhnya telah menggerogoti hampir lebih dari separo masyarakat Indonesia.
Persoalannya kemudian semakin diperparah ketika Indonesia, hanya mengakui ”sekolah” sebagai satu-satunya lembaga untuk ”memproduksi” masyarakat terdidik. Artinya, skala intelektualitas, skill dan kwalitas bangsa ini, harus keluar dari satu ”pabrik” formal yang legalitasnya hanya diakui pemerintah, yaitu sekolah. Padahal, sekolah di Indonesia juga tidak pernah bisa memberikan apa yang selama ini kita harapkan. Berdasarkan hasil studi kemampuan membaca tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh Organisasi International Educational Achievement (IEA), menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta (Benny Susanto, 2005). Bukan hanya secara kuantitatif, secara kulitatif pun ternyata pendidikan kita telah gagal. Angka kriminalitas, korupsi dan kejahatan sosial lainnya pun tak pernah terkendali. Pendidikan moral kita pun ternyata sama gagalnya dengan pendidikan intelektual. Sekolah
Kebijakan pendidikan kita yang ”tidak mencerdaskan” menurut banyak pakar tampaknya merupakan persoalan yang berakar dari kesalahan berfikir dalam paradigma pendidikan kita. Pendidikan bukan lagi alat untuk melakukan transformasi dari kegelapan menuju pencerahan. Dalam berbagai macam kebijakan pendidikan itu, terselip berbagai macam proyek yang sering hanya berujung pangkal pada uang dan keuntungan penguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain, sampai pencampuradukan antara kepentingan pemenangan agama yang simbolistik dan ketidakjelasan arah visi yang dituju. Semua serba kacau. Dan pendidikan berubah wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang simpang siur, proses penciptaan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap. Konstitusi yang jelas-jelas menitahkan agar negara ”mencerdaskan kehidupan berbangsa” sering tidak diberi makna yang adil dan memadai.

Pendidikan Yang Membebaskan

Menurut Paulo Freire, setiap manusia memiliki kemerdekaannya sendiri, setiap orang adalah tuan bagi pemikirannya. Tidak ada yang harus dan mampu menjadi nahkoda, bagi fikiran orang lain. Kemerdekaan setiap pemikiran, haruslah menjadi kerangka acuan dasar dalam mengembangkan pendidikan yang mampu membebaskan anak didik, sehingga setiap anak, dapat berkembang berdasarkan bakat dan keinginannya masing-masing.

Pendidikan, bagi Freire adalah sebuah proyek yang harus dilakukan bersama-sama antara guru dan murid yang bertujuan membangkitkan kesadaran yang secara fitrah dimiliki setiap manusia. Menurut Freire, setiap manusia, memiliki semacam kesadaran yang merupakan kekuatan utamanya sebagai manusia. Semakin tinggi tingkat kesadaran manusia, maka akan semakin besar pula perannya terhadap dunia. Manusia yang tidak memiliki kesadaran, akan mudah diperbudak, dan dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi ataupun pemenuhan hawa nafsu kelompok tertentu.

Berdasarkan konsep pendidikan yang berorientasi pada membangun kesadaran yang merdeka, maka Freire menawarkan sebuah sistem pendidikan bebas yang tidak boleh dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendidikan haruslah berjalan dinamis berdasarkan bakat dan dinamika anak. Ketika sebuah sistem pendidikan mampu membantu anak didiknya untuk mengembangkan kesadaran internal diri, sehingga mereka mampu memahami dirinya sebagai sosok yang merdeka, bebas dan berkehendak, itulah sebenarnya pendidikan yang berhasil.

Sistem persekolahan yang membebankan murid dengan target kurikulum yang diolah oleh ”kaum atas”, tanpa memberikan kesempatan dan ruang bagi anak didik untuk dapat mengembangkan bakat dan kreatifitasnya secara maksimal, sesungguhnya adalah sebuah penjajahan terhadap kesadaran manusia dengan mengarahkan mereka pada tujuan-tujuan yang telah diarahkan oleh sekolah. Sekolah yang bekerja untuk mengejar target kurikulum, berorientasi terhadap raport dan mendasarkan standar keberhasilan dari kwantitas nilai yang terukur merupakan sebuah sistem yang mengajarkan anak untuk hanya menjadi pribadi-pribadi ”pengikut” dan tunduk terhadap sistem, bukan pribadi ”idealis dan kreatif” yang secara merdeka memiliki tanggungjawab mampu membangun dan membuka kesempatan bagi sendiri maupun orang lain. Sekolah selayaknya harus mampu menjadi lapangan dimana anak-anak kita bisa menari bebas dan bergembira dengan setiap potensi dan keinginan mereka untuk dikembangkan secara maksimal.. Bukan penjara dengan setumpuk buku yang harus dihapal dan target kurikulum yang mengikat mereka sehingga tak mampu bernafas secara merdeka.

Sistem yang membatasi dan hanya mengakui persekolahan formal sebagai satu-satunya sistem pendidikan yang diakui, adalah sebuah pembodohan terhadap masyarakat. Pendidikan semacam ini, membatasi dan mengikat dirinya pada sistem yang dikurung oleh empat dinding sebuah ruangan kelas adalah penjajahan terhadap kemerdekaan setiap individu untuk dapat belajar dan mencerdaskan dirinya secara merdeka. Anak-anak yang tidak keluar dari sebuah ”pabrik” yang disebut sekolah, secara sistemik akan teralienasi terhadap berbagai perangkat negara dan masyarakat yang diakui secara formal. Tanpa Ijazah TK, seorang anak takkan bisa mengecap bangku SD, padahal kemampuan dan bakatnya barangkali sama saja atau bisa lebih baik dari anak-anak TK secara umum karena ia dibimbing secara pribadi oleh orangtuanya di rumah. Seorang guru tak bisa mengembangkan kualifikasinya secara maksimal sepanjang ia tidak memiliki cukup piagam, surat penghargaan ataupun bukti-bukti formal untuk syarat akreditasnya. Sistem telah memenjarakan pendidikan kita pada ijazah dan persoalan legal formal yang korespondensinya dengan skill dan kemampuan pribadi tak bisa dipertanggungjawabkan secara utuh.

Karenanya, selain adanya pendidikan formal, perlu juga dikembangkan pendidikan alternatif yang membebaskan dan mandiri. Pembebasan berarti keluar dari belenggu aturan formal yang membuat murid tidak kritis dan tidak kreatif. Sedang kemandirian berarti belajar tanpa bergantung apapun dan siapapun. Sebagai contoh dari pendidikan jenis ini yang cukup berhasil adalah SMP Qoryah Thoyyibah di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir, sebelah timur Kota Salatiga. Mudjab sang pendiri, mengatakan bahwa sekolah alternatif ini didirikan karena selama ini lembaga pendidikan formal membelenggu anak dengan sederet aturan yang tidak jelas kepentingannya buat si anak. Seperti baju seragam, sepatu seragam dan masuk harus jam 7 pagi. Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus nurut, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekedar mengejar nilai bukan proses. Untuk itulah, para pengelola SMP QT membebaskan para peserta didiknya belajar menurut keinginan. Sumber pembelajaran telah tersedia tanpa batas. Bahkan pada persoalan hidup yang muncul setiap hari.

Sekolah ini mencoba menawarkan pendidikan bermutu dan murah. Bermutu bukan sekedar peringkat tinggi, tapi yang lebih penting mereka memberdayakan peserta didik dalam menghadapi realitas kehidupan sekitar. Metode pembelajaran SMP QT terfokus kepada anak didik, bukan guru. Dalam pendekatan seperti ini, anak-anak diberi kebebasan untuk belajar darimana saja, apa saja, dan tidak harus di kelas. Semuanya diserahkan kepada anak didik. Tidak jarang kalau kelas mereka kosong, karena murid-muridnya sedang asyik belajar di sawah, ladang atau sungai.

Prestasi siswanya ternyata juga tidak kalah dengan sekolah formal, Salah seorang siswanya menulis buku dari hasil risetnya dan menerima Indonesian Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Tak sampai di situ, sejumlah novel pop dan kumpulan puisi yang diproduksi murid sekolah ini sudah diterbitkan Penerbit Matapena, Yogyakarta. Menyusul kemudian kumpulan puisi, katalog lukisan, serta presentasi tertulis dan vcd berbagai mata pelajaran. Kini murid-murid sekolah itu sedang mempersiapkan sebuah album musik dan film hasil ciptaan mereka.

Sungguh, pendidikan yang baik harus bisa membebaskan anak untuk berkreasi, mengekspresikan perasaannya, dan sebagainya. Tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Dalam diri anak didik harus muncul kesadaran bahwa pendidikan itu untuk dia, belajar itu adalah hak bukan kewajiban.

Comments :

0 komentar to “PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN”

Posting Komentar